Pendahuluan
Filologi merupakan satu
kajian yang bertugas menelaah dan menyunting naskah untuk dapat mengetahui
isinya. Cabang ilmu ini memang belum banyak dikenal oleh masyarakat luas,
terutama di kalangan masyarakat Islam. Kekayaan dan warisan intelektual Islam
menjadi terabai, padahal warisan inteletual yang berupa karya tulis itu
sedemikian banyaknya. Di Indonesia saja, banyak peninggalan kitab klasik yang
ditulis oleh ulama nusantara. Misalnya Imam Nawawi al-Bantani yang telah
menulis tidak kurang dari seratus kitab berbahasa Arab dalam berbagai bidang
keilmuan. Contoh lain, Syekh Mahfudh at-Tarmasy yang menulis hingga 60 kitab
meliputi tafsir, qiraah, hadits, dan sebagainya.[1]
Oleh karena itu,
makalah ini akan membahas tentang pendekatan filologi dalam studi Islam sebagai
bentuk pengenalan cabang ilmu filologi kepada komunitas Islam agar khazanah
peninggalan berupa naskah-naskah kuno dapat dipelajari dengan lebih maksimal.
Pembahasan
A.
Pengertian dan ruang lingkup filologi
Filologi berasal dari
kata dalam bahasa Yunani, yaitu kata “philos” yang berarti ‘cinta’ dan “logos”
yang berarti ‘pembicaraan’, ‘kata’ atau ‘ilmu’. Pada kata “filologi” kedua kata
itu secara harfiyah membentuk arti “cinta kata-kata” atau “senang bertutur”.
Arti ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang kepada ilmu”
atau “senang kebudayaan”, hingga dalam perkembangannya sekarang filologi
identik dengan ‘senang kepada tulisan-tulisan yang ‘bernilai tinggi’.
Sebagai istilah, kata
‘filologi’ mulai dipakai kira-kira abad ke-3 SM oleh sekelompok ilmuwan dari
Iskandariyah. Istilah ini digunakan untuk menyebut keahlian yang diperlukan
untuk mengkaji peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu beratus-ratus
tahun sebelumnya. Pada saat itu, perpustakaan Iskandariyah mendapatkan banyak
naskah berupa gulungan papyrus dari beberapa wilayah di sekitarnya. Sebagian
besar naskah tersebut sudah mengandung sejumlah bacaan yang rusak dan korup,
diantaranya adalah naskah-naskah Alkitab yang muncul dalam beberapa versi.
Keadaan ini mendorong para ilmuwan untuk mengadakan kajian untuk mengetahui
firman Tuhan yang dianggap paling asli. Mereka menyisihkan
kekeliruan-kekeliruan yang terdapat dalam naskah-naskah kuno tersebut. Jika
naskah yang mereka hadapi dalam jumlah besar atau lebih dari satu naskah, maka
kajian juga dihadapkan pada bacaan-bacaan (varian-varian) yang berbeda.
Dalam perkembangan
terakhirnya, filologi menitikberatkan pengkajiannya pada perbedaan yang ada
dalam berbagai naskah sebagai suatu penciptaan dan melihat perbedaan-perbedaan
itu sebagai alternatif yang positif. Dalam hubungan ini suatu naskah dipandang
sebagai penciptaan kembali (baru) karena mencerminkan perhatian yang aktif dari
pembacanya. Sedangkan varian-varian yang ada diartikan sebagai pengungkapan
kegiatan yang kreatif untuk memahami, menafsirkan, dan membetulkan teks bila
ada yang dipandang tidak tepat.
Obyek kajian filologi
adalah teks, sedang sasaran kerjanya berupa naskah. Naskah merupakan istilah
yang digunakan untuk menggambarkan peninggalan tulisan masa lampau, dan teks
merupakan kandungan yang tersimpan dalam suatu naskah. ‘Naskah’ sering pula
disebut dengan ‘manuskrip’ atau ‘kodeks’ yang berarti tulisan tangan.[2]
Naskah yang menjadi
obyek kajian filologi mempunyai karaktristik bahwa naskah tersebut tercipta
dari latar social budaya yang sudah tidak ada lagi atau yang tidak sama dengan
latar social budaya masyarakat pembaca masa kini dan kondisinya sudah rusak.
Bahan yang berupa kertas dan tinta serta bentuk tulisan, dalam perjalanan waktu
telah mengalami kerusakan atau perubahan. Gejala yang demikian ini terlihat
dari munculnya berbagai variasi bacaan dalam karya tulisan masa lampau.[3] Kata
filologi menurut Edwar Djamaris ialah suatu ilmu yang obyek penelitiannya
naskah-naskah lama. Filologi juga pernah dipandang sebagai film sastra secara
ilmiah dengan mengkaji karya-karya Homerous, Plato, Herodotus, Hippocrates,
Socates, Aristoteles, sebagai karya sasra yang bernilai tinggi.
Di Eropa daratan,
istilah filologi mengarahkan studinya kepada teks dan kritik teks atau yang
menyangkut seluk-beluk teks. Di Belanda, Filologi lebih mengarahkan studinya
pada teks sastra dan budaya dengan latar belakang budaya yang mendukung teks
tersebut. Di Perancis, filologi selain juga merupakan studi teks dan
transmisinya. Di Inggris, menurut Mario Pei dalam Glossary of Linguistic
Terminology (1966), filologi merupakan ilmu dan studi bahasa yang diarahkan
pada teks-teks lama maka filologi merupakan studi linguistik historis.
Dalam perkembangannya
yang terakhir, filologi memandang perbedaan-perbedaan dalam berbagai naskah
merupakan hal yang positif dan dianggap sebagai kreativitas penyalinnya yang
menafsirkan teks sesuai dengan resepsi pembacanya.Dalam hal ini, teks dipandang
sebagai refleksi budaya pada zamanya. Inilah yang terjadi pada kecenderungan
filologi modern.
Di Indonesia filologi
lebih cenderung pada penyebutan di Belanda yang menganggap sebagai disiplin
ilmu yang mendasar kerjanya pada bahan tertulis dan bertujuan mengungkap makna
teks dengan latar belakang budayanya.
Secara etimologis
filologi berarti cinta kata-kata. Berasal dari bahasa Yunani, philologia,
gabungan kata dari philos = ‘TEMAN’ dan logos = ‘PEMBICARAAN’ atau ‘ILMU’. Dalam
bahasa Yunani, philologia berarti ‘SENANG BERBICARA’.Dari pengertian ini
kemudian berkembang menjadi ‘SENANG BELAJAR’, ‘SENANG KEPADA ILMU’, ‘SENANG
KEPADA TULISAN-TULISAN’, dan kemudian ‘SENANG KEPADA TULISAN-TULISAN YANG
BERNILAI TINGGI’ seperti ‘karya-karya sastra’.[4]
Dalam lingkup kajian linguistik filologi
sering dirujuk sebagai ilmu untuk memahami teks dan bahasa kuno. Atas dasar
anggapan lingusitik itulah dalam tradisi akademik istilah filologi dijelaskan
sebagai kajian terhadap sebuah bahasa tertentu bersamaan dengan aspek
kesusasteraan dan konteks historis, serta aspek kulturalnya. Kesemua aspek
kajian filologis tersebut memang mutlak diperlukan, umumnya dalam memahami
sebuah karya sastra dan teks-teks lain yang memiliki signifikansi secara
kultural. Dalam hal ini dapat pula dijelaskan di sini bahwa lingkup kajian
filologis meliputi kajian tentang tata bahasa, gaya bahasa, sejarah, dan
penafsiran tentang pengarang, serta tradisi kritikal yang dikaitkan dengan
bahasa yang disampaikan. Oleh karena itu, jika filologi digunakan untuk
memahami suatu bahasa, maka pendekatan yang memakai disiplin ilmu ini
dimaksudkan untuk mencari pemahaman terhadap asal usul bahasa tersebut.
Meskipun begitu,
terdapat upaya-upaya untuk mempersempit ruang lingkup filologi dalam membentuk
filologi menjadi sebuah kajian modern. Di sini, pengaruh Ferdinand de Saussure
dengan karyanya The Course in General Linguistics memberikan kontribusi penting
dengan menetapkan lingkup pengertian disiplin filologis dalam arti yang lebih
terbatas lagi. Di sini, filologi bukan lagi menjadi induk segala macam cabang
ilmu, tetapi filologi modern dalam pandangan F. de Saussure menjadi pendekatan
saintifik pertama terhadap bahasa-bahasa manusia pada abad ke-19 yang menjadi
tonggak perkembangan bagi sebuah disiplin ilmu linguistik modern pada awal abad
ke-20. Dengan begitu, istilah pendekatan filologis yang dipakai dalam buku ini
mencakup pengertian-pegertian akademik istilah ini baik sebagai disiplin kajian
bahasa secara umum yang disebut sebagai filologi klasik, maupun perkembangan
mutakhirnya yang mengalami penyempitan sebagai bagian dari ilmu linguistik
modern.[5]
B.
Metode dan Pendekatan Filologi dalan
Studi Islam
Az-Zamakhsyari,
sebagaimana dikutip Nabilah Lubis, mengungkapkan kegiatan filologi sebagai
tahqiq al-kutub. Ungkapan itu secara lengkap sebagai berikut:
حققت الأمر وأحققته: كنت على يقين منه، وحققت
الخبر فأنا أحقه.
وقفت على حقيقته. ويقول الرجل لأصحابه إذا
بلغهم خبر فلم يستيقنوه: أنا أحق لكم هذا الخبر، أي أعلمه لكم وأعرف حقيقته.
Secara bahasa, tahqiq
berarti tashhih (membenarkan/mengkoreksi) dan ihkam (meluruskan). Sedang secara
istilah, tahqiq berarti menjadikan teks yang ditahkik sesuai dengan harapan
pengarangnya, baik bahasanya maupun maknanya. Dari definisi ini, dapat dipahami
bahwa tahqiq bertujuan untuk menghadirkan kembali teks yang bebas dari
kesalahan-kesalahan dan sesuai dengan harapan penulisnya. Tahqiq sebuah teks
atau nash adalah melihat sejauh mana hakikat yang sesungguhnya terkandung dalam
teks tersebut.
Sebagai Ilmu Bahasa.
Sebagai hasil budaya
masa lampau, peninggalan tulisan perlu dipahami dalam konteks masyarakat yang
melahirkannya. Pengetahuan tentang berbagai konvensi yang hidup dalam masyarakat
yang melatarbelakangi penciptaannya mempunyai peran yang besar bagi upaya
memahami kandungan isinya. Mengingat bahwa lapis awal dari karya tulisan masa
lampau berupa bahasa, maka pekerja filologi pertama-tama dituntut untuk
memiliki bekal pengetahuan tentang bahasa yang dipakai dalam karya tulisan lama
tersebut. Hal ini berarti juga bahwa pengetahuan kebahasaan secara luas
dierlukan untuk membongkar kandugan isi karya tulisan masa lampau. Dengan
demikian, seorang filolog harus pula ahli bahasa. Dari situasi inilah kemudian
filologi dipandang sebagai ilmu tentang bahasa. Dalam konsep ini, filologi
dipandang sebagai ilmu dan studi bahasa yang ilmiah, seperti yang pada saat ini
dilakukan oleh linguistik. Jika studinya dikhususkan terhadap teks-teks masa
lampau, filologi memperoleh makna sebagaimana yang terdapat pada linguistik
diakronis. Fiologi dengan pengertian ini antara lain dapat dijumpai di Inggris.
Di Arab, filologi demikian disebut dengan fiqh al-lughah.
Sebagai Ilmu Sastra
Tinggi
Dalam perkembangannya,
karya-karya tulisan masa lampau yang didekati dengan filologi berupa
karya-karya yang mempunyai nilai yang tinggi di dalam masyarakat. Karya-karya
yang pada umumnya dipandang sebagai karya-karya sastra adiluhung, misalnya
karya Yunani, Homerus. Perkembangan sasaran kerja ini kemudian melahirkan
pengertian tentang istilah filologi sebagai studi sastra atau ilmu sastra.
Filologi dengan pengertian demikian pada saat ini sudah tidak dijumpai lagi.
Sebagai Studi Teks.
Filologi dipakai juga
untuk menyebut ‘ilmu yang berhubungan dengan studi teks, yaitu studi yang
dilakukan dalam rangka mengungkapkan hasil budaya yang tersimpan di dalamnya’.
Pengertian demikian antara lain dapat dijumpai pada filologi di Negeri Belanda.
Sejalan dengan pengertian ini, di Prancis, filologi mendapatkan pengertian
sebagai ‘studi suatu bahasa melalui dokumen tertulis dan studi mengenai teks
lama beserta penurunan (transmisinya)’.
Konsep filologi
demikian bertujuan mengungkapkan hasil budaya masa lampau sebagaimana yang
terungkap dalam teks aslinya. Studinya menitikberatkan pada teks yang tersimpan
dalam karya tulis masa lampau.[6]
Bangsa Arab pra-Islam
dikenal dengan karya-karya syair maupun sastra prosanya. Karya yang paling
terkenal adalah “Muallaqat” (berarti “yang tergantung), karya-karya yang berupa
qasidah-qasidah panjang dan bagus yang digantungkan pada dinding Ka’bah dengan
tujuan agar dibaca masyarakat Arab pada hari-hari pasar dan keramaian lainnya.
Penelitian naskah Arab
telah lama dimulai, terlebih pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Pada
masa itu, nash al-Qur’an mulai dikumpulkan dalam satu mushaf. Hal ini
membutuhkan ketelitian untuk menyalin teks-teks al-Quran ke dalam mushaf
tersebut. Ayat-ayat al-Quran yang sebelumnya tertulis secara berserakan pada
tulang belulang, kulit pohon, batu, kulit binatang, dan sebagainya dipindah dan
disalin pada sebuah mushaf dan dijadikan satu. Pekerjaan menyalin ayat-ayat
al-Quran ini dilaksanakan dengan ketelitian menyangkut orisinalitas wahyu ilahy
yang harus senantiasa dijaga.
Setelah Islam tumbuh
dan berkembang di Spanyol pada abad ke-8 Masehi sampai abad ke-15 Masehi, pada
zaman Dinasti Bani Umayyah ilmu pengetahuan Yunani yang telah diterima bangsa
Arab kemudian kembali ke Eropa dengan epistemologi Islam. Puncak kemajuan karya
sastra Islam ini mengalami kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Karya tulis
al-Ghazali, Fariduddin Attar, dan lainnya yang bernuansa mistik berkembang maju
di wilayah Persia dan dunia Islam. Karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan yang lain
menjadi rujukan wajib mahasiswa dan merupakan lapangan penelitian yang menarik
pelajar di Eropa.[7]
Dalam konteks
keindonesiaan, manuskrip Islam terbagi ke dalam tiga jenis. Pertama, manuskrip
berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi, yakni naskah yang ditulis
dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Ketiga, manuskrip Pegon, yakni naskah
yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa
Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.
Manuskrip keislaman di
Indonesia lebih banyak berkaitan dengan ajaran tasawuf, seperti karya Hamzah
Fansuri, Syeh Nuruddin ar-Raniri, Syeh Abdul Rauf al-Singkili, dan Syeh Yusuf
al-Makassari. Tidak sedikit pula yang membahas tentang studi al-Quran, tafsir,
qiraah dan hadis. Misalnya Syeh Nawawi Banten dengan tafsir Marah Labib dan
kitab Al-Adzkar. Ada pula Syeh Mahfudz Termas dengan Ghunyah at-Thalabah fi
Syarh ath-Thayyibah, al-Badr al Munir fi Qiraah Ibn Katsir dan karya-karyanya
yang lain. Sebagian karya-karya tersebut sudah ditahqiq, dalam proses tahqiq,
dan dicetak tanpa tahqiq .Sementara sebagian besar lainnya masih berupa
manuskrip. Padahal umumnya, karya kedua tokoh ini juga menjadi rujukan dunia
Islam, tidak hanya di Indonesia.[8]
Menilik dari sangat
banyaknya khazanah klasik yang ada di Nusantara, merupakan sebuah pekerjaan
besar untuk mentahqiq kitab-kitab peninggalan ulama klasik tersebut.
Adams mengemukakan
bahwa tidak dapat dipungkiri pengetahuan yang paling produktif dalam studi
Islam adalah filologis dan historis. Lebih dari 100 tahun sarjana Islam
dibekali dengan dasar bahasa dan mendapat training metode filologis yang dapat
mengantarkan kepada pemahaman teks sebagai bagian dari warisan klasik.
Hasil dari studi dengan
pendekatan filologis, menurut Adams, adalah sebuah sumber pustaka (literatur)
yang dapat menyentuh semua aspek kehidupan dan kesalihan umat Islam. Tidak
hanya menjadi rujukan pengetahun Barat tentang Islam, filologis juga memainkan
peranan penting di dunia Islam. Outcome dari pendekatan filologis ini sebagian
besar telah dimanfaatkan oleh para intelektual, politisi, dan sebagainya.
Selain itu, filologi harus turut andil dalam
studi Islam. Hal terpenting yang dimiliki oleh mahasiswa Muslim adalah kekayaan
literatur klasik seperti sejarah, teologi, dan mistisisme. yang kesemuanya
tidak mungkin dipahami tanpa bantuan filologi. Penelitian agama
dengan menggunakan pendekatan filologi dapat dibagi dalam tiga pendekatan,
yaitu tafsir, content analysis, dan hermeneutika. Ketiga pendekatan tersebut
tidak terpisah secara ekstrim. Pendekatan-pendekatan itu bisa over lapping,
saling melengkapi, atau bahkan dalam sudut tertentu sama. Filologi berguna
untuk meneliti bahasa, meneliti kajian linguistik, makna kata-kata dan ungkapan
terhadap karya sastra.[9]
Meneliti agama memang
tidak dapat di pisahkan dari aspek bahasa (philology),karena manusia adalah
makhluk berbahasa sedangkan doktrin agama di pahami,di hayati dan di
sosialisasikan melalui bahasa.
Penelitian agama dengan
menggunakan pendekatan filologi dapat di bagi dalam tiga pendekatan. Perlu di
tekankan di sini bahwa ketiga pendekatan di maksudkan tidak terpisah secara
ekstrem ,pendekatan bisa over lapping ,saling melengkapi atau bahkan dalam
sudut pandang tertentu sama.ketiga pendekatan tersebut adalah :
1. Pendekatan
filologi terhadap al- qur’an.
Pendekatan filologi
terhadap al- qur’an adalah metode tafsir yang merupakan metode tertua dalam
pengkajian agama. Sesuai dengan namanya ,tafsir berarti
menjelaskan,pehaman,perincian atas kitab suci sehinggan isi pesan kitab suci
dapat di pahami sebagaimana yang di kehendaki oleh tuhan.
Adapun metode
penafsiran yang berkembang dalam tradisi intelektual Islam dan cukup popular
adalah :
a. metode tafsir tahlil
yaitu metode
mentafsirkan qur’an dengan cara menguraikan secara detail kata demi kata ,ayat
demi ayat ,surat demi surat dari awal hingga akhir.
b. metode tafsir ijmali
Yaitu mentafsirkan ayat
–ayat dalam kitab suci dengan cara menunjukkan kandungan makna kitab suci
secara global dan penjelasannya pun biasanya secara global pula.
c. metode tafsir
muqaran
Yaitu dengan cara
membandingkan ayat al- qur’an dengan ayat lainnya yang memiliki kemiripan
redaksi baik dalam kasus yang sama maupun yang beda atau bisa juga seperti
qur’an dengan hadis,hadis dengan hadis atau dengan pendapat ulama’tafsir.
d. metode tafsir mawdzu
Yaitu di sebut juga
tafsir tematik ,mentafsirkan dengan cara menghimpun ayat- ayat al-qur’an dari
bebagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topic yang di tetapkan
sebelumnya atau dengan cara mengangkat gagasan dasar al-qur’an yang merespon
tema-tema abadi yang menjadi keprihatinan manusia sepanjang sejarah.
2. Pendekatan filologi
terhadap hadis
Sebagaimana al- qur’an
,hadis juga banyak di teliti oleh para ahli ,bahkan dapat di katakana
penelitian terhadap hadis lebih banyak dilakukan di bandingkan dengan
Al-qur’an.
Memahami suatu hadis
sebagai salah satu sumber terpenting ajaran islam setelah al-qur’an pasti
memerlukan telaah kritis ,utuh dan menyeluruh .maka kajian akan terfokus pada
matan,sanad ,dan perawi dari hadis tersebut.
3. Pendekatan filologi
terhadap teks,naskah dan kitab-kitab (heurmeneutika)
Pada mulanya pendekatan
ini hanya di pahami sebagai metode untuk menafsiri teks-teks yang terdapat
dalam karya sastra ,kitab suci,tetapi kemudian penggunaan heurmeneutika sebagai
metode penafsiran semakin luas dan berkembang ,baik dalam cara analisis nya
maupun objek kajiannya.
Palmer mengklasifikasikan
cabang–cabang studi heurmeneutika sebagai berikut :
a) Interpretasi terhadap bible
b) Interpretasi terhadap berbagai teks
kesasteraan lama
c) Interpretasi terhadap penggunaan dan
pengembangan bahasa
d) Interpretasi terhadap suatu studi
tengtang proses pemahamannya itu sendiri
e) Interpretasi terhadap pemahaman di
balik makna –makna dari setiap system symbol
f) Interpretasi terhadap pribadi manusia
beserta tindakan-tindakan social nya.
Metode heurmeneutika
mempunyai fungsi agar tidak terjadi distorsi pesan atau informasi antara
teks,naskah,kitab,penulis,pembaca nya. Karena itu untuk memperoleh pemaknaan
yang lebih konfrehensif harus di perhatikan gaya bahasa ,struktur kalimat,dan
juga budaya.[10]
C.
Karya-karya dalam Studi Filologi
Dalam mengkaji
persoalan agama dan Islam, Charles J. Adams telah menelaah karya-karya peneliti
sebelumnya, di antaranya von Grunebaum, W.C. Smith, Kenneth Gragg.
Von Grunebaum
mengemukakan bahwa kesadaran umat Islam telah beralih dari heterogenetic kepada
orthogenetic. Pendapat ini dipakai oleh Adams, ketika ia menjelaskan bahwa
dunia Islam dewasa ini dihadapakan pada persoalan yang cukup dilematis ketika
berhubungan dengan modernitas, di mana umat Islam hanya dapat pasrah pada
keadaan dan bergantung pada takdir Tuhan.
W.C. Smith seperti
dirujuk oleh Adams, menjelaskan problem keagamaan baik pada tataran pengalaman
keagamaan secara batin maupun sikap keberagamaan secara lahir dengan membuat
pembedaan yang jelas antara sisi tradisi empiris pada agama dan sisi
kepercayaan doktrinal pada agama. Yang pertama berkait erat dengan wilayah
eksternal, penelitian sosial, dan aspek historis dari keberagamaan itu sendiri.
Sedang yang kedua menyangkut wilayah internal, innefable, orientasi
transendental, dan dimensi kehidupan agama yang sangat privat.
Kenneth Gragg dalam
pandangan Adams adalah seorang yang sangat mumpuni dalam kajian Arab dan
seorang theolog yang excellent. Melalui beberapa seri tulisannya yang cukup
elegan dan dengan gaya bahsa yang puitis, ia telah cukup berhasil menunjukkan
kepada Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus tentang adanya
keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi Islam. Hal ini, menurutnya,
menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataan ini.
[11]
Meskipun begitu,
terdapat upaya-upaya untuk mempersempit ruang lingkup filologi dalam membentuk
filologi menjadi sebuah kajian modern. Di sini, pengaruh Ferdinand de Saussure
dengan karyanya The Course in General Linguistics memberikan kontribusi penting
dengan menetapkan lingkup pengertian disiplin filologis dalam arti yang lebih
terbatas lagi. Di sini, filologi bukan lagi menjadi induk segala macam cabang ilmu,
tetapi filologi modern dalam pandangan F. de Saussure menjadi pendekatan
saintifik pertama terhadap bahasa-bahasa manusia pada abad ke-19 yang menjadi
tonggak perkembangan bagi sebuah disiplin ilmu linguistik modern pada awal abad
ke-20. Dengan begitu, istilah pendekatan filologis yang dipakai dalam buku ini
mencakup pengertian-pegertian akademik istilah ini baik sebagai disiplin kajian
bahasa secara umum yang disebut sebagai filologi klasik, maupun perkembangan
mutakhirnya yang mengalami penyempitan sebagai bagian dari ilmu linguistik
modern.
a. Filologi Klasik
Lepas dari sentuhan
mutakhir dalam perkembangan ilmu filologi, pendekatan ilmiah yang memakai
filologi sebagai pisau bedah analisis dalam sejarah perkembangan kajian
al-Qur’an dan ulumul al-Qur’an, atau katakanlah dalam kajian Islam secara umum,
sudah dilakukan sejak lama lantaran materi al-Qur’an dan Hadis tertuang dalam
bahasa Arab. Jika kita menilik perkembangan bahasa Arab sekarang, dan
membandingkannya dengan bahasa Arab yang tertuang dalam al-Qur’an dan
naskah-naskah hadis, misalnya; maka kita bisa menilai bahwa bahasa Arab
memiliki keunikan yang tidak hanya dianggap bagian dari bahasa kuno, tetapi
kekunoan itu terus terpelihara hingga kini. Alasan inilah yang menegaskan
pentingnya pendekatan filologis terhadap al-Qur’an.
Penelitian filologis
dilakukan oleh sarjana muslim abad pertengahan menemukan beberapa temuan yang
mengejutkan. Berpegang pada makna istilah filologis dalam pengertian klasiknya
sebagai disiplin ilmu yang menjelaskan pengaruh keberadaan bahasa-bahasa asing
terhadap pemakaian sebuah bahasa ditemukan sebuah fakta menarik bahwa pada
bahasa Arab yang digunakan oleh al-Qur’an pada masa turunnya sekitar abad ke-7
masehi, juga bahasa Arab yang dipakai dalam teks-teks hadis dalam tradisi
kenabian memiliki beberapa elemen asing yang berasal dari bahasa-bahasa di
sekitar Arabia. Observasi yang dilakukan dengan memakai pendekatan filologi
komparatif (Comparative Philology) terhadap teks al-Qur’an dan hadis menemukan
adanya pengaruh beberapa bahasa asing non-Arab dalam rumpun bahasa semitik yang
berkembang saat itu, maupun juga pengaruh dialek-dialek lokal selain Quraisy,
dalam kandungan teks al-Qur’an dan teks hadis. Temuan-temuan tersebut pada
gilirannya dapat memberi ruang lapang tidak saja bagi kalangan apologi Islam
yang menegaskan tesis mereka tentang ketinggian bahasa al-Qur’an yang memiliki
nilai i’jâz yang tidak lekang ditelan waktu, tetapi juga memberi ruang bagi
para kritikus Barat yang begitu konsern dengan kajian al-Qur’an seputar
anggapan mereka bahwa ada keterkaitan antara sajian teks al-Qur’an atau hadis
dengan sumber-sumber Yahudi dan Kristen pra-Islam. Kedua anggapan yang
berangkat dari sebuah premis akademik tersebut menjadi semakin terbuka untuk
dikaji guna dapat menemukan bukti-bukti yang menguatkan melalui penelitian
dengan menggunakan pendekatan filologi klasik.
Beberapa temuan hasil
penelitian terhadap al-Qur’an yang memakai pendekatan filologi komparatif dapat
dilihat dalam dua buah artikel Jalaluddin al-Suyuti di dalam al-Itqân yang
mengupas tentang adanya kata-kata di dalam al-Qur’an yang bukan berasal dari
dialek Hijaz, dan bahkan istilah-istilah serapan (mu‘arrab) yang berasal dari
bahasa-bahasa asing non-Arab. Ternyata, temuan ini merupakan kontribusi penting
yang lahir dari hasil investigasi yang berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Dalam artikel pertama tentang kata-kata asing dalam al-Qur’an yang diserap dari
dialek-dialek lokal Arab non-Quraisy (al-Itqan, i, hal. 134-136), Suyuti
menyebut beberapa pengaruh dialek Arab pinggiran seperti Yaman dalam beberapa
istilah al-Qur’an. Ia mencontohkan, misalnya, bahwa kata lahw yang dipakai
al-Qur’an untuk menunjuk arti “permainan” atau “kesenangan” dalam dialek
Quraisy sebenarnya berasal dari dialek Yaman yang berarti “perempuan”; atau
kata marjân yang juga berasal dari dialek Yaman yang merujuk pada arti permata
(lu’lu’) yang lebih kecil ukurannya.
Sementara dalam uraian
tentang lafazh-lafazh yang mua‘arrab, artikel Suyuti dalam al-Itqân (vol. 1,
hal. 136-142) merupakan ringkasan dari salah satu karyanya sendiri berjudul
al-Muhadzdzab fî mâ waqa‘a fi al-Qur’ân min al-mu‘arrab. Karya ini diakuinya
sebagai satu-satunya literatur yang memberikan penjelasan terhadap persoalan
serupa setelah para ulama sebelumnya seperti Tâjuddin Subkî (w.769/1368) dan
Ibn Hajar al-Asqallânî (w. 852/1449) hanya menyebutkan lafazh-lafazh mu’arrab
itu dalam bait-bait syair yang mereka gubah. Peran besar Suyuti dalam hal ini
adalah dengan memberikan sajian penjelasan yang lebih bersifat analitis-ilmiah
melalui telaah filologis klasik terhadap problematika bahasa al-Qur’an
tersebut.
Signifikansi dari
penelitian melalui pendekatan filologi komparatif dalam kajian al-Qur’an dan
Hadis, serta kajian tafsir pada umumnya, seperti yang dilakukan Suyuti di atas,
pada titik tertentu akan dapat menjadi pijakan bagi tesis tentang ketinggian
bahasa al-Qur’an yang memupus anggapan jika al-Qur’an melulu menyajikan materi
dalam bahasa Arab yang terisolasi dari perkembangan peradaban lain di sekitar
Arabia kala itu. Temuan-temuan filologi komparatif seperti disebutkan di muka
merupakan landasan yang kuat bagi ketinggian gaya bahasa al-Qur’an yang
menguatkan fenomena i’jâz dalam dimensi kritik sastra. Pada saat yang sama,
temuan-temuan filologi komparatif semacam itu juga bisa menjadi pijakan bagi
dilakukannya kritik yang lebih berdimensi teologis terhadap pencarian sumber di
belakang kitab suci, sebagaimana dilakukan para kritikus Barat dalam
menjelaskan kaitan antara kitab suci umat Islam ini dengan kitab-kitab Allah yang
lain yang diturunkan kepada para rasul sebelum Muhammad SAW. Terlepas dari
tujuan awal kajian orientalisme Barat yang terkesan bermata ganda, ketika
generasi awal kesarjaan Barat menaruh minat pada kajian keislaman untuk
mengkritik kenabian Muhammad, penelitian al-Qur’an dari aspek bahasa dalam
dimensi pendekatan filologi klasik agaknya tidak akan sampai merubah tesis
tentang keaslian al-Qur’an itu sendiri, seperti yang kemudian gencar dilakukan
dalam lingkup akademik filologi modern.[12]
b. Filologi Modern
Penelitian terhadap
bidang kajian tafsir hadis melalui pendekatan filologi dalam lingkup kademiknya
secara modern dalam disiplin ilmu linguistik modern menemukan arti pentingnya
dalam mengkaji relasi transkripsi sebuah teks dengan sumber-sumber aslinya. Hal
penting yang bahkan dianggap paling signifikan dalam penelitian Tafsir Hadis
melalui pendekatan filologi modern dapat dilihat dalam cabang disiplin ilmu
filologi yang dinamai dengan ‘rekonstruksi teks” (text reconstruction). Dalam
hal ini, elemen kritik teks dalam kajian filologis yang disebut dengan istilah
higher criticism menekankan upaya rekonstruksi sebuah naskah asli hasil karya
seorang pengarang berdasarkan varian salinan manuskripnya. Unsur-unsur utama
yang dicari dalam kritisisme teks ini mencakup status kepengarangan
(authorship), penanggalan, dan keaslian naskah.
Jika kemudian para
sarjana orientalis Barat banyak menekankan penelitian mereka untuk
merekonstruksi teks al-Qur’an, kajian semacam ini mungkin tidak menarik sarjana
muslim yang umumnya telah menerima hasil kesepakatan (ijma’) bahwa penyusunan
codex al-Qur’an telah selesai pada masa Utsman dengan terbitnya mushhaf
Utsmani. Dalam sejarah perkembangan penulisan al-Qur’an, naskah lengkap
al-Qur’an sendiri yang sudah dikodifikasikan dalam jangka waktu beberapa dekade
saja jaraknya dari wafatnya Nabi SAW menunjukkan pula prinsip-prinsip
rekonstruksi sebuah teks ala Islam, yang mungkin tidak jauh berbeda dengan
prinsip-prinsip filologi yang dipegangi dewasa ini.[13]
Begitu pula dengan
fenomena kodifikasi hadis-hadis Nabi SAW, setelah selesainya kodifikasi
al-Qur’an. Kodifikasi hadis menandai perkembangan baru kajian keislaman, di
mana tidak saja menaruh minat pada pembukuan hadis yang keberadaanya
terserak-serak saat itu, penyeleksian hadis-hadis dan klasfikasinya ke dalam
beberapa kategori yang menandai validitasnya, sampai pada pada lingkup
penyusunan model-model kitab hadis, serta upaya-upaya lanjutan yang menaruh
perhatian pada aspek tafsir untuk memberikan penjelasan (syarh) terhadap
hadis-hadis tersebut. Pada saat yang bersamaan, relevansi pendekatan ini juga
erat kaitannya dengan kajian tafsir al-Qur’an, sebagai cikal bakal
berkembangnya ilmu-ilmu keislaman. Di sini, arti penting pendekatan filologis
dalam lingkup kajian rekonstruksi teks adalah guna memberikan gambaran yang
lebih jelas terhadap karya-karya yang tidak mencantumkan nama pengarang dalam
tulisan manuskripnya, ataupun penisbatan sebuah karya yang masih bersifat
meragukan, seperti dalam kasus sebuah karya tafsir sufi yang secara meragukan
dinisbatkan kepada Ibnu ‘Arabi —hanya lantaran isinya yang banyak mengungkapkan
konsep wahdat al-wujûd. Di sini, pendekatan rekonstruksi teks menjadi jawaban
bagi persoalan yang lekat dengan upaya penerbitan sebuah teks hasil kajian
tafsir hadis dari salinan-salinan manuskripnya yang ada.
Sebagai sebuah kajian
yang menekankan penelitian bahasa-bahasa kuno, ataupun naskah-naskah yang
tergolong literatur klasik, maka peran seorang filolog dalam kajian filologi
dapat dikatakan sebagai pelaku peran penghubung yang bisa menjembatani
kesenjangan komunikasi yang ada di antara pengarang yang menggubah karya sebuah
karya pada masa lalu dengan para pembaca karya tersebut di era sekarang. Oleh
karena itu, tugas utama seorang filolog dapat disimpulkan dalam sebuah frase,
“membuat sebuah teks agar dapat dibaca dan dimengerti.” Dalam hal ini, ada dua
upaya yang bisa dilakukan seseorang dalam membuat akses bagi sebuah teks, yaitu
dengan memberikan penyajian (presentation) dan penafsiran (interpretation).
Presentasi dimaksudkan sebagai menyajikan naskah dalam bentuk edisi kritik,
yang dalam prosesnya tidak bisa dilepaskan dari aspek interpretasi dalam
menentukan pilihan-pilihan bacaan dari varian yang ada termasuk interpretasi
tentang siapa yang menjadi penulis naskah tersebut. Di sini, kaitan antara
kedua upaya tersebut saling terkait antara satu dengan yang lain, di mana aspek
penyajian tidak bisa dipisahkan sama sekali dengan penafsiran.
Begitu juga dalam
perkembangan ilmu tafsir, sejak periode klasik sudah banyak kitab-kitab tafsir
yang dihasilkan oleh para ulama, dan sudah pula dituliskan yang menandai
kekayaan literatur dalam kajian Tafsir dan Hadis. Persoalan yang tersisa bagi
kita, para pemerhati kajian Tafsir dan Hadis yang hidup di masa belakangan yang
terpaut jarak waktu yang sangat lama dengan masa dilahirkannya karya-karya
literatur itu adalah bagaimana kita bisa membaca dan memahami naskah-naskah
tersebut dengan jaminan bahwa tidak ada kesalahan baik yang disengaja ataupun
yang tidak disengaja yang telah dilakukan oleh para penyalin yang menuliskan
ulang karya-karya itu dari masa ke masa hingga saat ini, ketika bahkan naskah
asli yang ditulis oleh penulisnya sendiri telah hilang dan rusak ditelan waktu?
Penelitian melalui pendekatan rekonstruksi teks yang merupakan disiplin
filologi menjadi alternatif kajian interdisipliner yang bukan saja mampu
menjawab tantangan semacam itu, tetapi juga menjadi langkah besar yang paling
utama dilakukan mengingat masih banyak naskah-naskah literatur yang dihasilkan
pada masa klasik Islam dan masa-masa abad pertengahan yang belum
terpublikasikan dalam bentuk edisi cetak sehingga karya-karya itu bisa dibaca
secara luas.
Literatur yang bersifat
manual metodologis yang berfungsi memandu secara teknis pola-pola yang harus
dilakukan dalam penelitian yang memakai pendekatan filologis dalam lingkup
kajian terhadap literatur yang lebih menekankan aspek keindonesiaan dapat
dilihat pada karya Stuart Robson Principles of Indonesian Philology yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Prinsip-prinsip Filologi
Indonesia terbitan Universitas Leiden tahun 1994. Karya ini merupakan buku
panduan yang cukup penting mengingat masih banyak literatur bidang tafsir dan
literatur-literatur tentang kajian Islam pada umumnya yang ditulis oleh ulama
Indonesia yang hingga kini masih tertulis dalam bentuk salinan manuskrip dan
belum memiliki edisi cetak yang bisa dibaca secara luas.[14]
D. Signifikansi
dan konstribusi pendekatan Filologi dalam Studi Islam
Perkembangan
pembidangan study islam dan pendekatannya sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri, adanya penekanan terhadap bidang dan pendekatan
tertentu dimaksudkan, agar mampu memahami ajaran islam lebih lengkap dan
komplek pula. Perkembangan tersebut adalah satu hal yang wajar dan seharusnya
terjadi, sebab kalau tidak, menjadi pertanda agama semakin tidak mendapat
perhatian.
Pendekatan filologi
dipergunakan dalam kajian studi Islam dalam rangka memperoleh informasi dari
sebuah teks melalui penelitian terhadap berbagai naskah keislaman yang ada.
Mengingat banyaknya khazanah intelektual Islam, tentu membutuhkan banyak waktu
untuk melakukan penelitian terhadap berbagai turats tersebut. Pendekatan
filologi menjadi sangat penting sepenting kandungan teks itu sendiri. Perkembangan
pembidangan study islam dan pendekatannya sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri, adanya penekanan terhadap bidang dan pendekatan
tertentu dimaksudkan, agar mampu memahami ajaran islam lebih lengkap dan
komplek pula. Perkembangan tersebut adalah satu hal yang wajar dan seharusnya
terjadi, sebab kalau tidak, menjadi pertanda agama semakin tidak mendapat
perhatian.
Pendekatan ini memang
belum banyak digunakan, meskipun oleh pihak-pihak pengguna kitab-kitab klasik
itu sendiri, seperti pesantren-pesantren di Indonesia. Oleh karena itu perlu
adanya sosialisasi dan penyadaran terhadap pentingnya pendekatan filologi dalam
studi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
As-Syaukani,A.
Lutfi, “Oksidentalisme: Kajian Barat setelah
Kritik Orientalis dalam
Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5 dan 6 Vol. V, Th. 1994.
Abdullah, M. Amin, “Kita
juga Memerlukan Oksidentalisme”, dalam Jurnal Ulumul
Qur’an, No4, Tahun 1992.
Badri Yatim, , Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada..1998.
Badri Yatim, , Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada..1998.
Nabilah Lubis., Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi,(Jakarta:
Forum Kajian
Bahasa
&Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah. 1996.
pada hariRabu, Oktober 31, 2012
[2]
Nabilah
Lubis., Naskah, Teks, dan Metode Penelitian
Filologi,(Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas Adab IAIN
Syarif Hidayatullah. 1996)
[5]
Artikel filologi
pascakolonial
ini dipublish oleh dititikgerimizku.blogspot.com pada hari Rabu,
Oktober 31, 2012
[8]
Nabilah
Lubis., Naskah, Teks, dan Metode
Penelitian Filologi,(Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab
Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah. 1996)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar